: Antisipasi Redenominasi

Zaim Saidi
Direktur Wakala Induk Nusantara

Beberapa hari ini masyarakat dihebohkan rencana Bank Indonesia  (BI) untuk meredenominasi rupiah. Pada 18  Mei 2010 lalu rencana  ini sebenarnya sudah terbuka kepada publik saat dimulai Penjualan Surat Utang Negara (SUN) Denominasi Rupiah di Bursa Efek Indonesia (BEI). Tapi, ingar bingar Piala Dunia menenggelamkannya. Yang terasa  mengagetkan  publik adalah respons Menteri Keuangan Agus Martowardoyo, yang menyatakan tidak tahu-menahu rencana BI tersebut.  Ada apa ini?

Pelaksanaannya sendiri, tentu saja, menunggu dana hasil penjualan SUN ini. Kenyataan bahwa sumber biaya  redenominasi rupiah tersebut  adalah hasil  utang ini yang seharusnya justru jauh lebih mengejutkan ketimbang reaksi Menteri Keuangan di atas. Sebab, secara politik, BI memang bukan bagian dari Republik Indonesia, dan Gubernur BI (yang beberapa bulan lalu juga kosong) bukan bagian dari Kabinet RI lagi.  

Wakil Presiden RI Boediono yang merupakan mantan gubernur BI,  pun cuma  menegaskan, "Bahwa itu adalah kewenangan Bank Indonesia!" Tentu saja. Bukankah BI adalah  bagian dari International Monetary Fund (IMF)? Apa yang bisa dibuat oleh Republik Indonesia?

Memahami Redenominasi

Bagi masyarakat pun  tidak terlalu penting soal silang sengketa itu, tetapi akibat dari proyek redenominasi itulah yang perlu dimengerti dan diantisipasi. Sebab, masyarakat yang  menerima akibatnya, maka masyarakat perlu memahami tindakan yang bisa diambilnya untuk menyelamatkan harta bendanya. Kalau redenominasi itu dilaksanakan, atau selama masa rencana ini,  apa yang bisa dilakukan?

Redenominasi  merupakan tindakan rekalibrasi mata uang. Langkah ini  dilakukan karena dua alasan (1) inflasi atau (2) devaluasi.  Atau, bukan  karena keduanya, melainkan dengan alasan geopolitik tertentu. Ini terjadi, misalnya, ketika berbagai negara di Eropa bersepakat untuk memiliki mata uang regional euro, yang mengharuskan tiap negara pesertanya merekalibrasi mata uang nasional masing-masing.  Bila  karena inflasi ada dua variasi, yaitu hiperinflasi atau  inflasi sangat tinggi dalam tempo singkat, atau inflasi kronis, yaitu inflasi yang terus-menerus terjadi dalam waktu panjang. 

Secara teknis redenominasi mata uang nasional adalah rekalibrasi  mata uang suatu negara  dengan cara mengganti currency unit  mata uang lama (yang berlaku)  dengan  mata uang yang baru, yang dipakai sebagai satu unit mata uang. Bedanya dengan devaluasi adalah pada yang terakhir ini unit rekalibrasinya adalah mata uang asing, umumnya dolar AS.  Kalau inflasinya sangat besar, maka rasioanya juga akan besar, bisa kelipatan 10, 100, 1.000, atau lebih besar lagi. Dalam hal ini, proses itu lalu disederhanakan, dan disebut sebagai "penghilangan angka nol". 

Nasib Rupiah

Sepanjang umurnya  yang 65 tahunan rupiah sudah mengalami berkali-kali rekalibrasi. Yang dicatat dalam buku sejarah di sekolah adalah saat rezim Orde Lama  pada 31 Desember 1965, memangkas nilai Rp 1.000 menjadi Rp 1.  Istilah yang populer untuk peristiwa ini adalah sanering. Penyebabnya adalah hiperinflasi. Sesudah Orde Lama jatuh, selama kurun pemerintah Orde Baru, rupiah juga mengalami berkali-kali rekalibrasi, dengan istilah berbeda, yakni devaluasi. 

Atas desakan IMF dan Bank Dunia  rupiah didevaluasi pada  Maret 1983, sebesar 55%, dari Rp 415 per dolar  AS menjadi lebih dari Rp 600 per dolar AS. Rupiah, kembali atas tekanan IMF dan Bank Dunia, didevaluasi lagi  pada September 1986, sebesar 45%, menjadi sekitar Rp 900 per dolar AS.   Dari waktu ke waktu nilai tukar rupiah lalu terus mengalami depresiasi sampai mencapai angka sekitar Rp 2.200 per dolar AS  sebelum 'Krismon'  1997. Nilai rupiah kemudian  'terjun bebas' pertengahan 1997,  dan sejak itu terus  terombang-ambing--lagi-lagi atas kemauan IMF dan Bank Dunia--dalam sistem kurs mengambang (floating rate), dengan titik terendah yang pernah dicapai sebesar Rp 15.000 per dolar AS,  di awal 1998, dan saat ini stabil di sekitar Rp 9.200 per dolar AS.

Jadi, munculnya  gagasan untuk rekalibrasi rupiah kali ini, dengan cara redenominasi melalui penghilangan tiga angka nolnya, yakni mata uang  Rp 1.000 menjadi Rp 1,  penyebabnya tiada lain adalah inflasi kronis. Tetapi, bagi masyarakat umum apakah ada perbedaan implikasinya  antara sanering, devaluasi, dan redenominasi?

Secara substansial, tentu saja, tidak ada bedanya.  Ketiganya hanya bermakna bahwa mata uang rupiah kita semakin kehilangan daya belinya. Arti konkretnya adalah masyarakat yang memegang rupiah semakin hari semakin miskin. Penghilangan angka nol dilakukan karena dua alasan. Pertama, alasan teknis, kerepotan dalam berbagai aspek  pengelolaan mata uang dengan  angka nominal besar. Kedua, alasan psikologis atau tepatnya psikis, karena pada titik  tertentu masyarakat tidak akan bisa manerima harga dengan  nominal yang sangat besar.

Penyakit inflasi (akut atau krnis)  atau tepatnya penurunan daya beli mata uang kertas (depresiasi) bukan cuma diderita oleh rupiah. Semua mata uang kertas mengalaminya. Dolar AS  telah kehilangan daya belinya lebih dari 95% dalam kurun 40 tahun. Euro, hasil kalibrasi geopolitis, yang konon merupakan mata uang terkuat saat ini, dalam sepuluh tahun terakhir,  kehilangan sekitar 70%  daya belinya.  
Rupiah?  Lebih dari 99,9% daya belinya telah lenyap  dalam 65 tahun  ini. Maka, fungsi rekalibrasi sebenarnya hanyalah untuk menutupi cacat bawaan uang kertas ini.  Hingga publik tidak merasakan bahwa dalam kurun 65 tahun Indonesia merdeka, kita telah  dipermiskin sebanyak  175 ribu kali! 

Rekalibrasi mata uang kertas adalah senjata utama para bangkir untuk mengelabui masyarakat atas kenyataan ini. Dalam kurun 10 tahun terakhir ini saja belasan mata uang berbagai negara dikalibrasi: Turki, Siprus, Slovakia, Romania, Ghana, Azerbeijan, Slovenia, Turkmenistan, Mozambique, Venezuela, dll. Yang paling spektakuler, tentu saja, adalah dolar Zimbabwe, yang dalam kurun lima tahun terakhir (2006, 2008, dan 2009), dilakukan tiga kali redenominasi, dengan  menghapus total 25 angka nol pada unit mata uangnya!

: Otonomi Daerah

Oleh Azyumardi Azra
 
Setelah berlangsung lebih dari satu dasawarsa, otonomi daerah di Indonesia menarik perhatian banyak peneliti, baik di dalam maupun luar negeri. Bagi mereka, eksperimen dan pengalaman Indonesia dalam penerapan otonomi daerah sangat menarik. Pertama-tama menyangkut isu tentang apakah penerapan otonomi daerah dapat mencegah berkembangnya kecenderungan disintegrasi atau Balkanisasi Indonesia, yang terlihat meningkat pada tahun-tahun awal masa pasca-Soeharto; kedua, menyangkut masalah klasik tentang perimbangan antara pemerintah pusat dan daerah; ketiga, berkenaan dengan masalah apakah otonomi daerah dapat meningkatkan efektivitas pemerintahan; dan keempat, tentang apakah penerapan otonomi daerah itu dapat menumbuhkan dan memperkuat demokrasi pada tingkat akar rumput.

Jika UU No 32/2004 tentang pemerintahan daerah menyatakan, otonomi daerah adalah juga untuk peningkatan partisipasi politik rakyat lewat pilkada, ekses cukup menonjol adalah meningkatnya manipulasi politik, dan kian merajalelanya 'politik uang' (money politics). Akibatnya, sering terjadi kekisruhan dalam pilkada, yang berakhir dengan kekerasan dan anarki dari pihak-pihak yang merasa dirugikan dan kalah dalam proses politik yang mereka anggap tidak adil. Menurut catatan berbagai kalangan, dari 244 pilkada sepanjang Januari-Juni 2010, hanya 35 yang relatif tidak bermasalah, sebagian besar lainnya berujung pada sengketa pilkada di Mahkamah Konstitusi.

Ekses yang tak kurang negatifnya adalah semakin mahalnya biaya pilkada. Menurut estimasi, biaya penyelenggaraan pilkada pada 2010-2014 diperkirakan mencapai Rp 15 triliun. Biaya demikian besar itu mencakup lima komponen sejak dari pengeluaran KPU, panitia pengawas, biaya pengamanan kepolisian, dana calon kepala daerah, dan biaya tim kampanye. Menurut estimasi, calon gubernur membutuhkan dana sekitar Rp 20-100 miliar, bupati Rp 0,5-10 miliar, dan wali kota Rp 0,3-5 miliar.

Dengan biaya demikian besar, mereka yang mampu maju sebagai calon dalam pilkada hanyalah mereka yang memiliki modal keuangan sendiri atau punya pihak tertentu yang mau memodal, yang harus dibayar kembali oleh sang calon--menang atau tidak dalam pilkada. Termasuk di antara calon yang memiliki kemampuan keuangan seperti ini yang kemudian dilengkapi popularitas adalah selebritas, walaupun tidak selalu menjamin yang bersangkutan bakal terpilih.

Biaya yang begitu besar, menurut Mendagri Gamawan Fauzi, menimbulkan paradoks yang mempengaruhi penciptaan good governance dan pengurangan potensi korupsi di daerah. Paradoksnya terletak pada kenyataan; sementara biaya yang dikeluarkan demikian besar, padahal gubernur selama lima tahun masa jabatan 'hanya' bakal bisa mengumpulkan akumulasi gaji antara Rp 510-600 juta, bupati sekitar Rp 300-420 juta, dan wali kota Rp 300-420 juta. Dengan kesenjangan antara pengeluaran dan pendapatan seperti itu, bagaimana mereka mengembalikan 'investasi' dana politik tersebut, apakah bersumber dari dana sendiri atau investor politik.

 Terdapat kecenderungan kuat, 'pengembalian' modal politik itu dilakukan lewat berbagai bentuk korupsi, mulai dari memainkan dana anggaran daerah, pemberian izin berbagai eksploitasi sumber alam, pengenaan semacam tarif untuk diangkat sebagai kepala dinas, sampai kepada bentuk-bentuk lain yang sulit terdeteksi. Adanya praktik-praktik seperti ini memunculkan ungkapan, korupsi juga mengalami desentralisasi seiring penerapan otonomi daerah. Jika sebelum otonomi daerah, korupsi dalam skala besar terutama terjadi di lingkungan birokrasi pemerintahan pusat, kini juga meluas ke daerah.

Otonomi daerah mungkin tidak bisa dimundurkan lagi, tetapi korupsi jelas harus diberantas, apakah di pusat ataupun di daerah. Jelas, korupsi berkelanjutan dapat membuat pemerintah baik pusat maupun daerah kehilangan kredibilitasnya, yang membuatnya tidak bisa efektif dalam menyelenggarakan pemerintahan. Karena itu, perlu penanganan khusus dan percepatan pemberantasan korupsi secara konsisten dan tanpa pandang bulu.

: Redenominasi

Redenominasi Hanya dalam hitungan hari setelah terpilih sebagai gubernur Bank Indonesia (BI), Darmin Nasution sudah membuat geger. Ia melontarkan rencana BI untuk melakukan redenominasi mata uang rupiah. Ini sebenarnya bukan isu baru. Pada Mei lalu, sejumlah pejabat BI sudah melontarkan ide tersebut. Namun, kali ini, gaungnya jauh lebih bergema karena diungkapkan oleh pimpinan tertingginya. Publik pun geger. Kegempitaan reaksi publik merupakan hal yang wajar. Meskipun ditegaskan bahwa redenominasi bukanlah sanering, tetap saja menimbulkan reaksi yang besar. Sanering adalah pemotongan nilai mata uang. Pada masa Orde Lama, dilakukan tiga kali sanering, yaitu pada 1952, 1959, dan 1962. Bahkan, hal itu dilakukan secara ekstrem, yaitu mata uang itu dipotong jadi dua dengan nilai setengahnya. Hanya sebelah kiri yang berlaku dan dijadikan alat tukar. Dengan demikian, kekayaan seseorang menjadi berkurang setengahnya.   Redenominasi berbeda dengan sanering karena tak ada pengurangan nilai mata uang. Hanya angka nominalnya saja berubah. Misalnya, mata uang Rp 10.000 menjadi Rp 100 atau Rp 10. Jika sebelumnya bisa untuk membeli dua kilogram beras, setelah redenominasi tetap bisa untuk membeli dua kilogram beras. Jika berlangsung mulus seperti yang terjadi di Turki, pada tahap awal para pedagang akan memasang dua banderol di barang dagangannya. Yang satu menerakan harga sebelum redenominasi, sedangkan yang satu lagi dengan harga setelah redenominasi. Dua mata uang pun—mata uang lama ataupun mata uang baru—akan sama-sama berlaku. Kemudian, secara perlahan, bank sentral menarik mata uang lama hingga di pasar hanya ada mata uang baru. Itulah sekenarionya. Agar berlangsung mulus, tentu memerlukan sejumlah syarat. Pertama, sosialisasi yang cukup sehingga publik benar-benar paham. Kedua, situasi pasar benar-benar terkendali sehingga tak ada ruang bagi para spekulan. Ketiga, stabilitas politik terjaga sehingga tak ada rumor ataupun kegaduhan lainnya. Keempat, stabilitas ekonomi dan fundamental ekonomi kuat sehingga tak mudah roboh oleh guncangan pasar. Kelima, perencanaan dan pelaksanaan yang matang, detail, dan terkoordinasi. Namun, terlalu banyak pihak yang kritis terhadap rencana BI tersebut. Pertama, apakah redenominasi merupakan sesuatu yang mendesak untuk menjadi prioritas BI? Harus diakui, mata uang rupiah termasuk salah satu mata uang di dunia yang memiliki pecahan dalam nominal besar. Namun, apakah hal itu mengganggu perekonomian? Bukankah masih banyak tugas BI yang lebih mendesak, misalnya menurunkan suku bunga kredit perbankan, menyederhanakan jumlah bank, atau menyehatkan perbankan yang masih terlalu banyak yang bermasalah? Kedua, betulkah persoalan redenominasi sesederhana membuang angka nol tanpa menimbulkan dampak lainnya? Apakah jika redenominasi itu membuang tiga angka nol di belakang, nantinya satu dolar AS akan menjadi setara sekitar Rp 9? Jika tak ada jaminan, hal itu sama saja melakukan devaluasi dan mereduksi kekayaan rakyat Indonesia. Bagaimana pula dampaknya terhadap pajak, bea masuk, cukai, dan semacamnya? Hal-hal itulah yang mesti dikaji dengan cermat oleh BI. Lembaga ini lebih baik bahu-membahu bersama pemerintah dan DPR untuk memperkuat ekonomi nasional. Jika ekonomi Indonesia sudah kuat dan sehat, kebijakan redenominasi merupakan hal yang kecil. Pada sisi lain, kebijakan redenominasi dipastikan akan memakan biaya yang sangat besar: sosialisasi dan pencetakan mata uang baru. Padahal, daya dukung institusi BI masih sangat diragukan. Kasus korupsi di BI masih merupakan persoalan besar. Bahkan, untuk kasus terakhir pun belum jelas penyelesaiannya, yaitu dugaan korupsi pada pencetakan mata uang di Australia. Nah, program redenominasi sangat terkait dengan pencetakan mata uang baru. Padahal, di titik inilah salah satu tanda tanya besar terhadap kebersihan BI. Lebih baik lakukan hal yang menjadi tantangan nyata di depan mata.

: Busway dan Kemacetan

Sterilisasi busway yang diberlakukan Pemerintah DKI Jakarta ' berdampak pada kemacetan lalu lintas yang parah di jalur umum. Kemacetan parah ini karena kendaraan pribadi tak bisa lagi seenaknya masuk ke jalur busway. Ada sisi positif maupun negatif diberlakukannya sterilisasi jalur busway. Penumpang TransJakarta lebih lancar dan tepat waktu. Sedangkan sisi negatifnya, kemacetan semakin parah. 

Sebagai Kota Metropolitan, wilayah Jakarta yang luasnya mencapai 661,52 km dan berpenduduk kira-kira 9,6 juta orang adalah daerah termacet ke-14 di dunia. Sejak awal pemberlakuan busway enam tahun lalu sebenarnya sebagai solusi mengatasi kemacetan. TransJakarta atau umum disebut busway adalah sebuah sistem transportasi bus cepat.

Sistem ini dimodelkan berdasarkan sistem TransMilenio yang sukses di Bogota, Kolombia. Perencanaan busway telah dimulai sejak 1997 oleh konsultan dari Inggris. Pada waktu itu, direncanakan bus berjalan berlawanan dengan arus lalu lintas (contra flow) supaya jalur tidak diserobot kendaraan lain, namun dibatalkan dengan pertimbangan keselamatan lalu lintas. Meskipun busway di Jakarta meniru negara lain (Kolombia, Jepang, Australia), Jakarta memiliki jalur yang terpanjang dan terbanyak.

Namun, seiring waktu, busway ternyata tidak memecahkan masalah kemacetan di Jakarta. Setahun terakhir ini, kita malah semakin jengkel dengan kemacetan yang terjadi hampir setiap jam dan justru bukan di jam-jam yang sibuk. Kalau kita melihat penyebab kemacetan di Jakarta dan beberapa kota besar di Indonesia ialah dikarenakan 'salah urus' pemerintah, baik pusat maupun daerah. 

Menurut data dari Departemen Perhubungan, setiap tahun pertumbuhan kendaraan naik sebesar 11 persen. Sayangnya, pertumbuhan kendaraan ini tidak dibarengi oleh pertambahan ruas jalan. Di Jakarta saja, misalnya, sebanyak lima juta kendaraan lalu-lalang di jalanan hampir setiap harinya. Sedangkan penambahan ruas jalan hanya 1-2 persen. Akibatnya, setiap hari jalanan semakin ditumpuki oleh jutaan kendaraan.
 
Saat ini, kendaraan pribadi di Jakarta jumlahnya mencapai 2.034.943 unit. Sementara itu, kendaraan umum hanya berjumlah 847.259 unit dan melayani 70 persen dari total penduduk Jakarta. Persoalan sistem transportasi modern dan massal memang sudah dikaji oleh pemerintah. Sayangnya, penggunaan sistem busway tak efektif jika pemerintah tidak berani mengurangi porsi kendaraan pribadi. 

Selain mengurangi kemacetan, pengurangan kendaraan pribadi juga sekaligus untuk mengurangi emisi dan menghemat BBM. Kendaraan mewah di atas 2500 cc misalnya, pajaknya harus dinaikkan sampai 200 persen. Atau mungkin kalau mau lebih radikal seperti yang dilakukan Pemerintah Singapura yang memberlakukan pajak progresif bagi pemilik kendaraan pribadi lebih dari satu. Ini bisa menjadi solusi pembiayaan pembangunan dan pemeliharaan sistem transportasi yang baru. 

Namun, semua ini juga harus kembali kepada kebijakan pemerintah. Sudah saatnya sistem transportasi publik ditanggung negara sehingga bisa terjangkau oleh semua lapisan masyarakat. Pemerintah pun harus menjaga supaya transportasi umum bersih dan nyaman ketika digunakan. Tak ada lagi cerita gengsi dan malu jika seorang eksekutif, pejabat, pengusaha, hingga artis menggunakan transportasi umum.

: Dari Mana Kekayaanmu Berasal

Kita menyambut baik Rancangan Undang-Undang Pemberantasan (RUU) Tindak Pidana Pencucian Uang yang kini dibahas DPR. Bukan hanya menyambut baik, tapi juga mendorong dan bahkan menuntut agar RUU itu segera dijadikan undang-undang, lalu secepatnya disahkan (diberlakukan).
 
Harus diakui, rekening para pejabat yang mencurigakan yang dilaporkan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sering kali terbentur di kejaksaan dan kepolisian. Ada semacam solidaritas korp atau kelompok. Apalagi bila yang dilaporkan adalah rekening sesama kolega.

Yang terakhir ini dapat kita saksikan ketika ada pelaporan mengenai rekening yang mencurikan milik sejumlah perwira tinggi polisi beberapa pekan lalu. Pelaporan itu memang ditindaklanjuti. Namun, karena yang menindaklanjuti adalah institusi kepolisian sendiri, masyarakat tetap tidak yakin mengenai hasilnya.

Dengan RUU yang baru itu, ada lembaga lain yang akan diberi wewenang mendapat laporan dari PPATK. Lembaga itu adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dengan begitu akan ada enam lembaga yang mempunyai kewenangan melakukan penyidikan terhadap tindak pidana pencucian uang. Yaitu: KPK, kepolisian, kejaksaan, Badan Narkotika Nasional (BNN), penyidik Bea Cukai, dan penyidik Ditjen Pajak.

Dengan adanya banyak lembaga yang bisa menyidik laporan PPATK, kita berharap ke depan ada semacam kontrol silang. Bila, misalnya, rekening yang mencurigakan milik anggota kepolisian, maka yang menyidik harus KPK atau kejaksaan. Sebaliknya, jika yang dilaporkan oleh PPATK adalah rekening milik pimpinan atau pegawai KPK, yang menyidik harus kepolisian atau kejaksaan, dan begitu seterusnya.

Kekhawatiran memang masih ada. Yakni, bagaimana bila para pejabat di lembaga-lembaga tersebut berkonspirasi jahat untuk 'tahu sama tahu' sesama mereka? Kalau ini yang terjadi tentu akan menjadi bencana dan sekaligus membuktikan bahwa para pimpinan dan pejabat kita memang korup. Ketika hal itu berlangsung maka rakyatlah yang harus beraksi.

Bila kita bersikap keras dan curiga terhadap semua penyelewengan yang, antara lain, dalam bentuk rekening pejabat yang mencurigakan, bukan berarti kita antipejabat yang kaya. Kaya adalah hak setiap warga, termasuk para pejabat negara dan pegawai negeri. Justru kita akan senang bila semua warga negeri ini berkecukupan dan hidup sejahtera.

Hanya saja kekayaan itu harus jelas dari mana asalnya. Pegawai negeri dan pejabat negara yang jelas setiap bulan bergaji sekian dan sekian, lalu kekayaannya ternyata melebihi dari gajinya, tentu patut dipertanyakan: dari mana kekayaanmu berasal (min aina laka hadza?). Kalau kemudian asal kekayaan sudah jelas, misalnya, lantaran mendapatkan warisan atau istri/suami dan anggota keluarganya berbisnis, semua pihak harus menghargai dan menghormatinya.

Apa yang kita sampaikan di atas tidak ada maksud lain kecuali agar negara dan bangsa ini bisa segera maju dan dapat bersaing dengan bangsa-bangsa lain. Bangsa dan negara ini terus terpuruk dan tidak kunjung sejahtera, antara lain, karena pejabat dan pegawai negerinya banyak yang korup. Banyak yang ingin kaya raya namun dengan cara yang tidak semestinya.

Ketika pegawai negeri dan pejabat negara korup dapat dipastikan mereka melakukannya dengan menyalahgunakan atau memanfaatkan jabatan, wewenang, dan kedudukannya. Jabatan, wewenang, dan kedudukan yang seharusnya diembannya dengan penuh amanat dan kejujuran tapi diselewengkan.

Kita tahu setiap pejabat negara dan pegawai negeri yang melakukan penyelewengan jabatan, wewenang, dan kedudukan dapat dipastikan kurbannya adalah rakyat banyak. Tentu saja penyelewengan itu menguntungkan bagi diri yang bersangkutan, keluarga dan kelompoknya. Dan, itulah yang disebut korups

Contoh Prosedur Penanganan Keluhan Pelanggan sesuai ISO 9001 – 2008

1. TUJUAN :
Untuk mengatur penanganan keluhan Pelanggan agar dapat tercapai penyelesaian masalah secara tepat dan cepat dalam upaya mencapai tindakan perbaikan dan pencegahan yang efektif dan efisien.
2. RUANG LINGKUP :
Prosedur ini diterapkan dalam aktivitas penanganan keluhan Pelanggan berupa identifikasi keluhan, pencarian alternatif solusi, pemilihan solusi, penerapan solusi dan penyelesaian keluhan yang terkait dengan bidang pekerjaan Biro/Bagian terkait atau perusahaan secara menyeluruh.
REFERENSI  :
3.1       Manual Mutu Perusahaan
3.2       ISO 9001 : 2008 klausul 8.5.2
4.  DEFINISI
Keluhan : Adalah saran dan masukan berupa kritikan dan atau keberatan yang disampaikan secara lisan ataupun tertulis dari pihak eksternal maupun internal perusahaan mengenai kinerja yang dihasilkan oleh Perusahaan
Kinerja :  Suatu hasil pencapaian (performance) dari suatu pekerjaan yang dapat diukur dan dibandingkan.
5.  PENANGGUNG JAWAB
Kabag Marketing
PIC Terkait
6. RINCIAN PROSEDUR
6.1.      Menyampaikan keluhan secara lisan (via telepon/datang langsung) atau secara tertulis (via surat atau media masa mengenai keluhan pembaca) kepada kantor Perusahaan.
6.2.      Pihak Marketing akan melakukan langkah berikut :
Jika keluhan disampaikan Pelanggan secara  Langsung,  maka Terima Pelanggan dengan baik, tanyakan identitas, maksud dan tujuannya  terlebih dahulu serta persilakan duduk di ruang tunggu kemudian beritahukan hal tersebut kepada Marketing dan PIC terkait agar dapat segera ditangani.
Jika keluhan disampaikan Pelanggan melalui telepon, maka Terima telepon dari Pelanggan dengan baik tanyakan identitas, maksud dan tujuannya terlebih dahulu dan informasikan keluhan tersebut kepada Dept terkait agar dapat segera ditangani........
........Selengkapnya....Contoh Prosedur Penanganan Keluhan Pelanggan sesuai ISO 9001 – 2008

.

Contoh Prosedur Pengukuran Kepuasan Pelanggan sesuai ISO 9001 – 2008

1. TUJUAN
Mengetahui tingkat kepuasan pelanggan dan memastikan tingkat kepuasan pelanggan meningkat.

2. RUANG LINGKUP
Meliputi aktivitas penentuan standar pelayanan, melakukan survey ke pelanggan, analisa dan tindakan perbaikan untuk meningkatkan kepuasan pelanggan.

3. REFERENSI
3.1         Manual Mutu Perusahaan
3.2         ISO 9001 : 2008 klausul  8.2.1  (Pemantauan Kepuasan Pelanggan)

4. DEFINISI
  • Survei
Mengumpulkan informasi aktual dan signifikan mengenai ekspektasi dan persepsi pelanggan terhadap hal-hal yang dianggap fokus analisa sebagai dasar tindakan perbaikan atau perubahan untuk mengeliminasi ketidaksesuaian yang telah menimbulkan ketidakpuasan pelanggan.
  • Kepuasan Pelanggan
Persepsi pelanggan tentang tingkat pemenuhan persyaratan pelanggan

5. PENANGGUNG JAWAB.
5.1     Kabag Marketing, bertanggung jawab melakukan pelayanan baku terhadap pelanggan
5.2     MR (Management Representative/ Wakil Manajemen) dan Seluruh departemen yang terkait bertanggung jawab untuk menindak lanjuti hasil dari pelayan baku terhadap pelanggan.
5.3     Sekretariat ISO bertanggung jawab untuk mengendalikan dan menyimpan hasil Survei ke pelanggan.

6. PROSEDUR
6.1     Melakukan Pelayanan baku bagian pemasaran  ke pelanggan dan  memberikan daftar periksa survey kepuasan pelanggan, yang  berisi :
  • Masukan pelanggan
  • Strategi perusahaan
6.2     Melaksanakan aktivitas sesuai layanan baku pemasaran :.............
.........Selengkapnya.... Contoh Prosedur Pengukuran Kepuasan Pelanggan sesuai ISO 9001 – 2008
.

Postingan Populer