Apa yang Anda lihat ketika memilih pasangan? Pria yang berasal dari keluarga kaya dan terpandang? Jika tujuan hubungan Anda hanya saat ini, mungkin itu cukup. Namun, bila yang Anda cari adalah hubungan yang serius hingga ke pernikahan, ada kriteria lain yang sebaiknya Anda lihat, yaitu potensi kesuksesan dia.
1. Punya tujuan hidup
Ketika Anda bertanya apa tujuan hidupnya, ia akan menjelaskan secara rinci kepada Anda rencana jangka pendek dan menengahnya, apa yang ingin ia lakukan setahun mendatang, lima tahun, dan seterusnya.
Bahkan, ia menyiapkan rencana cadangan untuk mengantisipasi kegagalan. Tidak hanya menjawab, "Kita lihat saja nanti, jalani saja hidup ini seperti air mengalir."
2. Mandiri
Ia tidak bergantung pada orang lain dan mengandalkan kemampuan sendiri dalam hal apa pun. Misalnya, sejak awal mula bekerja, ia menanggung sendiri biaya hidupnya tanpa bantuan orangtuanya. Pria seperti ini menunjukkan bahwa ia bertanggung jawab atas hidupnya dan hidup orang yang ia sayangi. Si dia juga tak pernah mengeluh mengenai pekerjaannya. Karena ia sadar, untuk mencapai kesuksesan, tentu dibutuhkan usaha dan kerja keras.
3. Hobi menolong
Anda tentu pernah mendengar ungkapan semakin banyak memberi, akan semakin banyak menerima. Percaya atau tidak, ungkapan ini memang ada benarnya. Jadi, bila pasangan termasuk pria yang ringan tangan membantu orang lain, Anda perlu berbangga hati mendukungnya. Sebab, ini akan menjadi bekal atau tabungan untuk menuju kesuksesannya di masa depan. Siapa tahu seseorang yang ia bantu saat ini berperan penting dalam kariernya di kemudian hari.
4. Bersahabat dan berwawasan
Sikapnya yang bersahabat ditambah dengan wawasan luasnya biasanya akan mudah mengambil hati banyak orang, termasuk saat melobi orang-orang penting yang berkaitan dengan kariernya. Pengetahuannya tentang berbagai hal termasuk berita-berita terkini akan membuat orang lain merasa nyaman berdiskusi dengannya. Semakin banyak orang tertarik padanya, semakin luas juga networking-nya. Kalau sudah begini, Anda tak perlu khawatir dengan kualitas diri yang dimiliki si dia, kesuksesan pun akan segera menghampiri.
5. "Family man"
Pria yang bertanggung jawab dan menyayangi keluarganya biasanya adalah pria yang juga memerhatikan perkembangan kariernya. Ia akan selalu termotivasi meningkatkan karier lebih baik lagi untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Selain itu, pria tipe ini cenderung setia pada pasangannya sehingga ia bisa menyeimbangkan waktu dan pikirannya untuk Anda dan pekerjaannya.
6. Memiliki investasi
Saat ini gaji si dia tak bisa dibilang besar? Tak perlu khawatir selama ia bisa mengatur pendapatannya dan tak selalu kehabisan uang di tengah bulan. Apalagi bila ia termasuk orang yang jeli melihat peluang bisnis. Tak perlu terlalu besar, berangkat dari bisnis kecil-kecilan pun bisa mengantarkannya menjadi pengusaha sukses. Dukung sepenuhnya ketika dia memiliki keinginan untuk mencicil rumah atau berinvestasi dalam bentuk lain, seperti saham atau reksa dana. Karena ini menunjukkan si dia sangat memikirkan masa depan.
7. Realistis dan lurus
Meskipun si dia bersemangat meraih mimpinya, tetap amati bagaimana usahanya meraih impian, jangan sampai si dia menghalalkan berbagai cara yang justru bisa menghancurkan masa depannya. Ingatkan untuk tetap realistis dengan kemampuan yang dimilikinya. Bila si dia ahli dalam bidang teknologi informatika, ia tak perlu memaksakan diri untuk menjadi seorang public relations karena tertarik melihat temannya yang sukses di bidang tersebut. Masing-masing orang kan memiliki kelebihan yang berbeda-beda.
8. Optimistis dan positif
Ia sangat tahu apa yang menjadi kelebihan dan kekurangannya sehingga ia selalu percaya diri saat berinteraksi dengan orang lain ataupun ketika diberikan tanggung jawab baru. Ia hampir tak pernah berkata "tidak bisa" atau "malas deh melakukannya". Ia selalu berpikir positif dan optimistis bahwa setiap tantangan yang datang pasti ada solusinya. Selain itu, ia juga terbiasa fokus dalam melakukan sesuatu sehingga tak cepat menyerah saat mengalami kegagalan.
(Majalah Chic/Bestari Kumala Dewi)
: Antara Keterampilan dan Karakter
Oleh A Riawan Amin
Dalam ranah Pengembangan Sumber Daya Insani, dikenal istilah TASK. Bahwa seorang staf (pekerja) di perusahaan dinilai dari empat (empat) kualitas diri yang dimilikinya. Yaitu, talent (bakat), attitude (sikap), skills (ketrampilan), dan knowledge (pengetahuan). Keempat kualitas itu secara signifikan akan menentukan keberhasilannya selaku individu dalam menjalankan tugas-tugas perusahaan.
Dan, secara lebih luas, akan mampu menarik kereta organisasi menuju pencapaian target dan tujuan yang diharapkan. Keempat kualitas di atas bisa diringkas menjadi dua (dua) kategori besar: yaitu Keterampilan (termaktub di dalamnya kualitas skills dan knowledge) dan Karakter (mencakup talent dan attitude).
Bagi perusahaan, keahlian atau keterampilan yang dimiliki setiap karyawannya akan menentukan kontribusi yang dapat diberikan. Itulah sebabnya, menjadi wajar bila kebutuhan perusahaan akan karyawan dimulai dari penilaian terhadap keahlian yang dimilikinya.
Khalifah Ali bin Abi Thalib RA pernah memerintahkan Asytar al-Nukhai, gubernur Mesir untuk mendapatkan pekerja-pekerja yang andal. Dalam perintahnya, ia mengatakan, "Jika engkau ingin mengangkat karyawan, maka pilihlah secara selektif. Janganlah engkau mengangkatnya karena ada unsur kecintaan dan kemuliaan (baca: nepotisme), karena hal ini akan menciptakan golongan durhaka dan khianat. Pilihlah karyawan karena pengalaman dan kompetensi yang dimiliki ...."
Begitupun, karakter memegang peran penting. Karena menjadi fondasi nilai bagi keterampilan yang dimiliki setiap individu karyawan. Karakter inilah yang menjadi benteng kokoh dari serangan-serangan berbagai nilai yang merusak.
Itulah sebabnya, Ali bin Abi Thalib ra melanjutkan perintahnya kepada Gubernur Mesir Asytar al-Nukhai untuk memperhatikan karakter sebagai faktor penentu dalam merekrut pegawai. Berikut nukilan perintah beliau, ".... Pilihlah karyawan karena memiliki tingkat ketakwaannya dan keturunan orang shaleh, serta orang yang memiliki akhlak mulia, argumen yang shahih, tidak mengejar kemuliaan (pangkat) dan memiliki pandangan yang luas atas suatu persoalan."
Kompetensi atau keterampilan menjadi ranah pengembangan SDI. Sebaliknya karakter sepatutnya berada pada ranah penarikan SDI. Mengapa demikian? Karena kompetensi atau keterampilan lebih mudah untuk diasah dan dikembangkan di masa depan dibanding karakter.
Tanpa memperhatikan keduanya, atau lebih mengedepankan keterampilan yang dimiliki saat ini tanpa memedulikan karakternya, akan mengakibatkan preseden buruk bagi perusahaan. Alih-alih mecapai tujuan bisnis, justru semua kerja yang dilakukan akan semakin mengerdilkan eksistensi perusahaan.
"Ketika engkau menyia-nyiakan amanah, maka tunggulah kehancuran. Dikatakan, 'Wahai Rasulullah, apa yang membuatnya sia-sia?' Rasul bersabda, 'Ketika suatu perkara diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancurannya." (HR Bukhari).
Dalam ranah Pengembangan Sumber Daya Insani, dikenal istilah TASK. Bahwa seorang staf (pekerja) di perusahaan dinilai dari empat (empat) kualitas diri yang dimilikinya. Yaitu, talent (bakat), attitude (sikap), skills (ketrampilan), dan knowledge (pengetahuan). Keempat kualitas itu secara signifikan akan menentukan keberhasilannya selaku individu dalam menjalankan tugas-tugas perusahaan.
Dan, secara lebih luas, akan mampu menarik kereta organisasi menuju pencapaian target dan tujuan yang diharapkan. Keempat kualitas di atas bisa diringkas menjadi dua (dua) kategori besar: yaitu Keterampilan (termaktub di dalamnya kualitas skills dan knowledge) dan Karakter (mencakup talent dan attitude).
Bagi perusahaan, keahlian atau keterampilan yang dimiliki setiap karyawannya akan menentukan kontribusi yang dapat diberikan. Itulah sebabnya, menjadi wajar bila kebutuhan perusahaan akan karyawan dimulai dari penilaian terhadap keahlian yang dimilikinya.
Khalifah Ali bin Abi Thalib RA pernah memerintahkan Asytar al-Nukhai, gubernur Mesir untuk mendapatkan pekerja-pekerja yang andal. Dalam perintahnya, ia mengatakan, "Jika engkau ingin mengangkat karyawan, maka pilihlah secara selektif. Janganlah engkau mengangkatnya karena ada unsur kecintaan dan kemuliaan (baca: nepotisme), karena hal ini akan menciptakan golongan durhaka dan khianat. Pilihlah karyawan karena pengalaman dan kompetensi yang dimiliki ...."
Begitupun, karakter memegang peran penting. Karena menjadi fondasi nilai bagi keterampilan yang dimiliki setiap individu karyawan. Karakter inilah yang menjadi benteng kokoh dari serangan-serangan berbagai nilai yang merusak.
Itulah sebabnya, Ali bin Abi Thalib ra melanjutkan perintahnya kepada Gubernur Mesir Asytar al-Nukhai untuk memperhatikan karakter sebagai faktor penentu dalam merekrut pegawai. Berikut nukilan perintah beliau, ".... Pilihlah karyawan karena memiliki tingkat ketakwaannya dan keturunan orang shaleh, serta orang yang memiliki akhlak mulia, argumen yang shahih, tidak mengejar kemuliaan (pangkat) dan memiliki pandangan yang luas atas suatu persoalan."
Kompetensi atau keterampilan menjadi ranah pengembangan SDI. Sebaliknya karakter sepatutnya berada pada ranah penarikan SDI. Mengapa demikian? Karena kompetensi atau keterampilan lebih mudah untuk diasah dan dikembangkan di masa depan dibanding karakter.
Tanpa memperhatikan keduanya, atau lebih mengedepankan keterampilan yang dimiliki saat ini tanpa memedulikan karakternya, akan mengakibatkan preseden buruk bagi perusahaan. Alih-alih mecapai tujuan bisnis, justru semua kerja yang dilakukan akan semakin mengerdilkan eksistensi perusahaan.
"Ketika engkau menyia-nyiakan amanah, maka tunggulah kehancuran. Dikatakan, 'Wahai Rasulullah, apa yang membuatnya sia-sia?' Rasul bersabda, 'Ketika suatu perkara diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancurannya." (HR Bukhari).
: Jangan Rakus Harta
Oleh Fajar Kurnianto
*Fajar Kurnianto
Tinggal di Cimanggis, Depok
Rasulullah SAW bersabda kepada Hakim bin Hizam, "Wahai Hakim, sesungguhnya harta itu indah menggoda. Barang siapa yang tidak mengambilnya dengan rakus, maka ia akan mendapati berkah. Dan, barang siapa yang mengambilnya dengan rakus, maka ia tidak akan mendapati berkah, dan ia seperti orang makan yang tidak merasa kenyang." (HR Bukhari dari Hakim bin Hizam)
Setiap orang ingin memiliki harta dunia. Ini fitrah manusia. Dan, Allah SWT tidak melarang manusia untuk memiliki harta dunia. Bumi dengan segala isinya memang Allah SWT sediakan bagi manusia. Allah SWT tidak pandang orang, baik yang beriman maupun tidak, dipersilakan untuk menikmati bumi dan isinya.
Manusia sendiri adalah makhluk ciptaan Allah SWT. Dalam konteks ini, manusia sama dengan makhluk-makhluk Allah SWT yang lain. Manusia memiliki hak, tetapi ia juga mempunyai kewajiban terhadap Sang Penciptanya. Dalam masalah harta dunia, manusia berhak mencari sebanyak-banyaknya semaksimal yang bisa ia dapatkan. Tetapi, manusia juga memiliki kewajiban untuk taat kepada Allah SWT yang menyuruh manusia untuk hanya mencari harta dengan jalan yang halal dan tidak merugikan orang lain.
Selain halal dan tidak merugikan orang lain, manusia oleh Allah SWT juga diimbau untuk tidak rakus dengan harta dunia. Karena, orang yang rakus biasanya tidak menghiraukan rambu-rambu yang telah Allah SWT buat. Kerap kali bahkan rambu-rambu itu malah diterjang sehingga langkah yang ditempuh untuk mendapatkan harta itu sudah lepas dari jalan yang halal. Tidak hanya itu, bahkan akhirnya kerap kali merugikan orang lain. Harta yang didapatkannya pun hilang keberkahannya. Dan, harta yang hilang keberkahan tidak akan membawa manfaat pada orang yang bersangkutan.
Ketika manusia sudah tidak lagi sekadar menginginkan harta dunia, bahkan mereka ingin menguasai semuanya, berarti ia sudah terkena penyakit rakus yang sangat dibenci Allah SWT. Rasulullah SAW mengibaratkan orang ini dengan orang yang makan, namun tidak kenyang-kenyang. Selalu dan selalu ingin mendapatkan yang lebih daripada apa yang didapatkannya tanpa menghiraukan orang lain yang banyak ia rugikan. Apa yang ia dapatkan? Bisa jadi hartanya bertambah banyak. Tetapi, tidak dengan keberkahannya.
Rasulullah SAW mengingatkan kita untuk tidak hanyut dan tergoda dengan kemilau harta dunia karena ia kerap kali menjerumuskan manusia pada jurang penderitaan. Allah SWT sudah mengatur rezeki setiap manusia. Rasulullah SAW pernah ditawari oleh Allah SWT dengan Gunung Uhud yang akan diubah-Nya menjadi emas untuk beliau. Namun, beliau menolaknya. Beliau tidak tergoda harta dunia, apalagi sampai rakus mendapatkannya. Wallahu a'lam.
: Upah Karyawan
Oleh Imam Nur Suharno
"Bayarlah upah kepada karyawan sebelum kering keringatnya, dan beri tahukan ketentuan gajinya terhadap apa yang dikerjakan." (HR Baihaki).
Islam sangat menolak perilaku eksploitatif terhadap karyawan. Karena itu, membayar upah karyawan tepat waktu termasuk amanah yang harus segera ditunaikan. Besarannya pun harus disesuaikan dengan kebutuhan minimal untuk bisa hidup sejahtera. Itulah makna yang terkandung dalam hadis di atas.
"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat." (QS An-Nisa [4]: 58).
Tidak sedikit pengusaha dengan alasan ketidakmampuannya membayar upah karyawan semaunya, padahal keuntungan pengusaha melimpah. Hanya dengan sedikit permainan akuntansi data bisa berubah, seolah perusahaan tidak memiliki keuntungan yang besar, sehingga dapat mengupah karyawan dengan upah yang rendah.
Islam sangat melarang manusia memakan harta dengan cara yang batil. Mengupah karyawan semaunya, padahal sebenarnya perusahaan mampu membayar lebih, ini merupakan kebatilan yang harus ditinggalkan.
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu, dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu." (QS An-Nisa [4]: 29).
Untuk itu, Didin Hafidhuddin dan Hendri Tanjung dalam bukunya, Sistem Penggajian Islam, menyebutkan, prinsip perhitungan besaran gaji sesuai syariah. Pertama, prinsip adil dan layak dalam penentuan besaran gaji.
Kedua, manajemen perusahaan secara terbuka dan jujur serta memahami kondisi internal dan situasi eksternal kebutuhan karyawan terhadap pemenuhan kebutuhan pangan, sandang, dan papan. Ketiga, manajemen perusahaan perlu melakukan perhitungan maksimisasi (maximizing) besaran gaji yang sebanding dengan besaran nisab zakat.
Dan keempat, manajemen perusahaan perlu melakukan revisi perhitungan besaran gaji, baik di saat perusahaan laba maupun rugi, dan mengomunikasikannya kepada karyawan.
Untuk itu, pemilik perusahaan hendaknya menetapkan kebijakan kepada manajemen perusahaan untuk mempertimbangkan hal-hal tersebut di atas sebagai sebuah tanggung jawabnya terhadap karyawan. Wallahu a'lam.
"Bayarlah upah kepada karyawan sebelum kering keringatnya, dan beri tahukan ketentuan gajinya terhadap apa yang dikerjakan." (HR Baihaki).
Islam sangat menolak perilaku eksploitatif terhadap karyawan. Karena itu, membayar upah karyawan tepat waktu termasuk amanah yang harus segera ditunaikan. Besarannya pun harus disesuaikan dengan kebutuhan minimal untuk bisa hidup sejahtera. Itulah makna yang terkandung dalam hadis di atas.
"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat." (QS An-Nisa [4]: 58).
Tidak sedikit pengusaha dengan alasan ketidakmampuannya membayar upah karyawan semaunya, padahal keuntungan pengusaha melimpah. Hanya dengan sedikit permainan akuntansi data bisa berubah, seolah perusahaan tidak memiliki keuntungan yang besar, sehingga dapat mengupah karyawan dengan upah yang rendah.
Islam sangat melarang manusia memakan harta dengan cara yang batil. Mengupah karyawan semaunya, padahal sebenarnya perusahaan mampu membayar lebih, ini merupakan kebatilan yang harus ditinggalkan.
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu, dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu." (QS An-Nisa [4]: 29).
Untuk itu, Didin Hafidhuddin dan Hendri Tanjung dalam bukunya, Sistem Penggajian Islam, menyebutkan, prinsip perhitungan besaran gaji sesuai syariah. Pertama, prinsip adil dan layak dalam penentuan besaran gaji.
Kedua, manajemen perusahaan secara terbuka dan jujur serta memahami kondisi internal dan situasi eksternal kebutuhan karyawan terhadap pemenuhan kebutuhan pangan, sandang, dan papan. Ketiga, manajemen perusahaan perlu melakukan perhitungan maksimisasi (maximizing) besaran gaji yang sebanding dengan besaran nisab zakat.
Dan keempat, manajemen perusahaan perlu melakukan revisi perhitungan besaran gaji, baik di saat perusahaan laba maupun rugi, dan mengomunikasikannya kepada karyawan.
Untuk itu, pemilik perusahaan hendaknya menetapkan kebijakan kepada manajemen perusahaan untuk mempertimbangkan hal-hal tersebut di atas sebagai sebuah tanggung jawabnya terhadap karyawan. Wallahu a'lam.
: Tugas Memakmurkan Hidup
Oleh A Riawan Amin
Allah SWT berfirman, "... Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya.…" (QS Hud [11]: 61).
Kini, semakin banyak perusahaan yang menyandarkan aktivitasnya pada aspek spiritualitas (menjadi spiritual company). Berkebalikan dengan perusahaan yang mengabaikan faktor spiritual dalam operasionalnya, perusahaan-perusahaan yang melandaskan aktivitasnya pada nilai-nilai spiritual terbukti mampu bertahan dan berkembang secara baik.
Secara umum, diidentifikasikan ada enam manfaat yang didapat perusahaan dengan menyandarkan bisnisnya pada aspek spiritualitas. Pertama, perusahaan akan jauh dari berbagai kecurangan (fraud) yang mungkin terjadi akibat 'menghalalkan segala cara'. Karena, dari sinilah kebangkrutan perusahaan dimulai.
Kedua, meningkatnya produktivitas dan kinerja perusahaan. Ketiga, terbangunnya suasana kerja yang harmonis atau hadirnya sinergi di antara karyawan dan pimpinan perusahaan. Keempat, meningkatnya citra (image) positif perusahaan. Kelima, perusahaan menjadi tumbuh dan berkembang secara berkesinambungan (sustainable company). Keenam, menurunkan perpindahan (turnover) karyawan.
Sudah selayaknya para pebisnis, apalagi pengusaha Muslim, menerapkan budaya manajemen spiritual, yakni menempatkan nilai-nilai universalitas dalam tujuan pencapaian bisnis. Dalam konsep ini, definisi manajemen berubah dari sekedar getting things done through the people menjadi getting God's will done by the people. Tugas memakmurkan hidup melalui kejayaan organisasi-seperti ditegaskan dalam surah Hud ayat 61 di atas-dipandang sebagai tugas suci.
Spirit ibadah kepada Allah menjadi landasan bisnis yang sangat kokoh. Karena, setiap aktivitas mendapatkan keuntungan yang selalu berkait erat kepada Sang Pencipta (Creator). Itulah sebabnya tatanan kerja yang terbangun menjadi lebih sakral dibanding sekadar mendapatkan keuntungan finansial semata. Kekuatan inilah yang menjadi turbin penggerak semangat berjuang para penganutnya (man). Karena, setiap langkah perjuangan menjadikan catatan sejarah kehidupan yang abadi.
Yang pasti, landasan peribadahan dalam perjuangan di lahan bisnis harus menuju pada terciptanya dan terbaginya kemakmuran secara adil (creation) kepada semua pihak yang terlibat. Yaitu, crew (karyawan), customer (pelanggan), capital provider (pemilik modal), dan community (masyarakat).
Secara sadar, perusahaan diposisikan sebagai sebuah organisme yang berdiri di atas akar rumput dan menyandang misi spiritualitas. Kehadirannya bukan hanya sekadar untuk mendapatkan keuntungan bagi pribadi-pribadi semata. Lebih dari itu, keberadaannya bertujuan untuk mengangkat marwah manusia secara keseluruhan. Pendekatannya bukan hanya pragmatis semata. Jauh dari itu, paradigma yang dibentuk adalah membangun peradaban.
Allah SWT berfirman, "... Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya.…" (QS Hud [11]: 61).
Kini, semakin banyak perusahaan yang menyandarkan aktivitasnya pada aspek spiritualitas (menjadi spiritual company). Berkebalikan dengan perusahaan yang mengabaikan faktor spiritual dalam operasionalnya, perusahaan-perusahaan yang melandaskan aktivitasnya pada nilai-nilai spiritual terbukti mampu bertahan dan berkembang secara baik.
Secara umum, diidentifikasikan ada enam manfaat yang didapat perusahaan dengan menyandarkan bisnisnya pada aspek spiritualitas. Pertama, perusahaan akan jauh dari berbagai kecurangan (fraud) yang mungkin terjadi akibat 'menghalalkan segala cara'. Karena, dari sinilah kebangkrutan perusahaan dimulai.
Kedua, meningkatnya produktivitas dan kinerja perusahaan. Ketiga, terbangunnya suasana kerja yang harmonis atau hadirnya sinergi di antara karyawan dan pimpinan perusahaan. Keempat, meningkatnya citra (image) positif perusahaan. Kelima, perusahaan menjadi tumbuh dan berkembang secara berkesinambungan (sustainable company). Keenam, menurunkan perpindahan (turnover) karyawan.
Sudah selayaknya para pebisnis, apalagi pengusaha Muslim, menerapkan budaya manajemen spiritual, yakni menempatkan nilai-nilai universalitas dalam tujuan pencapaian bisnis. Dalam konsep ini, definisi manajemen berubah dari sekedar getting things done through the people menjadi getting God's will done by the people. Tugas memakmurkan hidup melalui kejayaan organisasi-seperti ditegaskan dalam surah Hud ayat 61 di atas-dipandang sebagai tugas suci.
Spirit ibadah kepada Allah menjadi landasan bisnis yang sangat kokoh. Karena, setiap aktivitas mendapatkan keuntungan yang selalu berkait erat kepada Sang Pencipta (Creator). Itulah sebabnya tatanan kerja yang terbangun menjadi lebih sakral dibanding sekadar mendapatkan keuntungan finansial semata. Kekuatan inilah yang menjadi turbin penggerak semangat berjuang para penganutnya (man). Karena, setiap langkah perjuangan menjadikan catatan sejarah kehidupan yang abadi.
Yang pasti, landasan peribadahan dalam perjuangan di lahan bisnis harus menuju pada terciptanya dan terbaginya kemakmuran secara adil (creation) kepada semua pihak yang terlibat. Yaitu, crew (karyawan), customer (pelanggan), capital provider (pemilik modal), dan community (masyarakat).
Secara sadar, perusahaan diposisikan sebagai sebuah organisme yang berdiri di atas akar rumput dan menyandang misi spiritualitas. Kehadirannya bukan hanya sekadar untuk mendapatkan keuntungan bagi pribadi-pribadi semata. Lebih dari itu, keberadaannya bertujuan untuk mengangkat marwah manusia secara keseluruhan. Pendekatannya bukan hanya pragmatis semata. Jauh dari itu, paradigma yang dibentuk adalah membangun peradaban.
: Spiritual Power
Oleh A Ilyas Ismail
Manusia sebagai makhluk tertinggi ciptaan Allah memiliki kemampuan tak terbatas. Tidak saja kemampuan fisik, intelektual, dan moral, tetapi juga kekuatan spiritual. Sebagian dari kekuatan itu telah dikenali dengan baik, tetapi sebagian lagi, terutama yang berhubungan dengan kekuatan rohani manusia (spiritual power), belum banyak yang diketahui dan dikembangkan. Tak heran bila ada pakar yang menyebut manusia sebagai The Unknown, yaitu makhluk yang belum sepenuhnya diketahui.
Kekuatan spiritual ini, menurut ulama besar dunia, Yusuf al-Qaradhawi, bermula dari penanaman (peniupan) roh ketuhanan atau spirit ilahi ke dalam diri manusia (QS Shad [38]: 71-72), yang menyebabkan manusia menjadi makhluk yang unggul dan unik. Firman-Nya, "Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka, Mahasucilah Allah, Pencipta yang paling baik." (QS Almu'minun [23]: 14).
Menurut al-Qaradhawi, ada beberapa cara yang perlu dilakukan untuk mengasah dan mempertinggi kekuatan spiritual ini. Pertama, al-iman al-`amiq, yaitu memperkuat iman kepada Allah SWT dengan selalu mengesakan dan menyandarkan diri hanya kepada-Nya.
Kedua, al-ittishal al-watsiq, yaitu membangun hubungan dan komunikasi yang kuat dengan Allah SWT. Komunikasi dilakukan dengan ibadah dan senantiasa mendekatkan diri kepada-Nya melalui ibadah-ibadah wajib (al-mafrudhat) ataupun ibadah-ibadah sunah (al-mandubat).
Ketiga, tathhir al-qalb, yaitu upaya menyucikan diri dari berbagai penyakit hati. Kekuatan spiritual, menurut Qaradhawi, berpusat di hati atau qalb, fu`ad, atau al-ruh. Penyucian dilakukan agar hati atau kalbu sebagai "pusat kesadaran" manusia menjadi "sensitif" sehingga senantiasa ingat kepada Allah, takut akan ancaman dan siksa-Nya, serta penuh harap (optimistis) terhadap rahmat dan ampunan-Nya.
Menurut al-Qaradhawi, kekuatan spiritual ini adalah pangkal (al-asas), sedangkan kekuatan-kekuatan lain hanyalah penunjang (al-musa`id). Bahkan, menurut Sayyid Quthub, tak ada kekuatan lain yang bisa menandingi kekuatan yang satu ini. Nabi SAW dan kaum Muslim pada awal periode Islam diminta oleh Allah SWT agar mempertajam kekuatan ini dengan turunnya surah Almuzammil dan Almuddatstsir.
Oleh sebab itu, para aktivis perjuangan Islm, menurut Quthub, wajib hukumnya memiliki kekuatan spiritual ini. Dalam tafsir Fi Zhilal al-Qur'an, Sayyid Quthub menegaskan kedahsyatan kekuatan yang satu ini. Katanya, "Bekal mereka adalah iman. Perbendaharaan mereka juga iman. Sedangkan, sandaran mereka adalah Allah. Semua bekal, selain bekal iman, pasti habis. Semua perbendaharaan, selain perbendaharaan iman, juga habis. Sementara itu, setiap sandaran, selain sandaran Tuhan, bakal roboh." Wallahu a'lam.
Manusia sebagai makhluk tertinggi ciptaan Allah memiliki kemampuan tak terbatas. Tidak saja kemampuan fisik, intelektual, dan moral, tetapi juga kekuatan spiritual. Sebagian dari kekuatan itu telah dikenali dengan baik, tetapi sebagian lagi, terutama yang berhubungan dengan kekuatan rohani manusia (spiritual power), belum banyak yang diketahui dan dikembangkan. Tak heran bila ada pakar yang menyebut manusia sebagai The Unknown, yaitu makhluk yang belum sepenuhnya diketahui.
Kekuatan spiritual ini, menurut ulama besar dunia, Yusuf al-Qaradhawi, bermula dari penanaman (peniupan) roh ketuhanan atau spirit ilahi ke dalam diri manusia (QS Shad [38]: 71-72), yang menyebabkan manusia menjadi makhluk yang unggul dan unik. Firman-Nya, "Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka, Mahasucilah Allah, Pencipta yang paling baik." (QS Almu'minun [23]: 14).
Menurut al-Qaradhawi, ada beberapa cara yang perlu dilakukan untuk mengasah dan mempertinggi kekuatan spiritual ini. Pertama, al-iman al-`amiq, yaitu memperkuat iman kepada Allah SWT dengan selalu mengesakan dan menyandarkan diri hanya kepada-Nya.
Kedua, al-ittishal al-watsiq, yaitu membangun hubungan dan komunikasi yang kuat dengan Allah SWT. Komunikasi dilakukan dengan ibadah dan senantiasa mendekatkan diri kepada-Nya melalui ibadah-ibadah wajib (al-mafrudhat) ataupun ibadah-ibadah sunah (al-mandubat).
Ketiga, tathhir al-qalb, yaitu upaya menyucikan diri dari berbagai penyakit hati. Kekuatan spiritual, menurut Qaradhawi, berpusat di hati atau qalb, fu`ad, atau al-ruh. Penyucian dilakukan agar hati atau kalbu sebagai "pusat kesadaran" manusia menjadi "sensitif" sehingga senantiasa ingat kepada Allah, takut akan ancaman dan siksa-Nya, serta penuh harap (optimistis) terhadap rahmat dan ampunan-Nya.
Menurut al-Qaradhawi, kekuatan spiritual ini adalah pangkal (al-asas), sedangkan kekuatan-kekuatan lain hanyalah penunjang (al-musa`id). Bahkan, menurut Sayyid Quthub, tak ada kekuatan lain yang bisa menandingi kekuatan yang satu ini. Nabi SAW dan kaum Muslim pada awal periode Islam diminta oleh Allah SWT agar mempertajam kekuatan ini dengan turunnya surah Almuzammil dan Almuddatstsir.
Oleh sebab itu, para aktivis perjuangan Islm, menurut Quthub, wajib hukumnya memiliki kekuatan spiritual ini. Dalam tafsir Fi Zhilal al-Qur'an, Sayyid Quthub menegaskan kedahsyatan kekuatan yang satu ini. Katanya, "Bekal mereka adalah iman. Perbendaharaan mereka juga iman. Sedangkan, sandaran mereka adalah Allah. Semua bekal, selain bekal iman, pasti habis. Semua perbendaharaan, selain perbendaharaan iman, juga habis. Sementara itu, setiap sandaran, selain sandaran Tuhan, bakal roboh." Wallahu a'lam.
: Kiai Haji Aqil Siradj yang Saya Kenal
Oleh Dahlan Iskan
(Dirut PLN)
Salah besar komentar pengamat yang mengatakan dengan terpilihnya KH Said Aqil Siradj sebagai ketua umum (tanfidiyah ) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) berarti golongan konservatif yang menang. Kiai Aqil adalah orang yang amat terbuka, moderat, pluralis, bahkan cenderung menggampangkan banyak hal.
Di mata Kiai Aqil Siradj tidak ada barang yang sulit, termasuk dalam beragama. Sampai-sampai muncul guyon di kalangan NU, seperti yang diceletukkan Kiai Ali Mashuri dari Sidoarjo, kalau Anda ingin menanyakan segi halalnya semua hal, bertanyalah ke Aqil Siradj.
Sedangkan kalau menanyakan sudut haramnya semua hal, bertanyalah ke KH Ma'ruf Amin. Dengan terpilihnya Kiai Aqil Siradj boleh dibilang kepemimpinan NU akan lebih cair dan rileks. Akan kembali seperti saat dipimpin Gus Dur dalam skala yang lebih kecil. Seandainya yang terpilih adalah calon satunya, Slamet Effendy Yusuf, wajah kepemimpinan NU akan lebih politis, mirip ketika dipimpin KH Hasyim Muzadi.
Kiai Aqil Siradj sungguh sangat rileks. Bahkan, kini beliau tidak peduli lagi kalau ada orang yang salah memanggil namanya: Agil. Padahal, dulu, beliau selalu mengoreksi kalau ada orang yang memanggilnya Agil. Yang benar adalah Aqil. 'Q' di situ harus diucapkan lebih mendekati huruf 'K' daripada huruf 'G'. Atau tepatnya, harus diucapkan di antara bunyi huruf 'G' dan huruf 'K'.
Bagi yang tidak familiar dengan ucapan huruf Arab, kata 'aqil' memang akan diucapkan salah: Agil atau sekalian Akil. Saya pun yang bertahun-tahun sekolah di madrasah tidak biasa memanggil beliau secara benar. Saya selalu memanggil beliau dengan Agil. Ini gara-gara ada dua orang terkenal yang bernama Agil: KH Said Agil al Munawar (mantan menteri Agama di era presiden Megawati) dan H Agil H Ali (tokoh pers Indonesia).
Maka, ketika pertama kali mengenal beliau di Makkah, saya pun selalu memanggil beliau dengan Agil. Setiap itu pula beliau memberikan koreksi: Aqil! Waktu itu beliau masih mahasiswa program doktor Universitas Ummul Quro di Makkah. Sedangkan saya, bersama-sama tim dari Jawa Pos, sedang menerbitkan koran musiman di Makkah.
Tentu kami sangat beruntung ada mahasiswa sekaliber Said Aqil Siradj bisa bergabung di tim kami. Waktu itu, kami belum memanggil beliau kiai. Kami memanggilnya Ustaz Agil. Saat itulah, selama dua bulan, kami bekerja bersama dalam satu tim siang malam. Dari situ pula, kami berkesimpulan bahwa mahasiswa satu ini sangat istimewa. Encer otaknya dan luas pandangan ilmunya.
Saya kaget ketika ada komentator politik yang mengatakan bahwa dengan terpilihnya KH Said Aqil Siradj sebagai ketua umum Nahdlatul Ulama (PBNU) dalam Muktamar di Makasar pekan lalu, berarti kemenangan kubu konservatif. Saya sama sekali tidak melihat kekonservatifan Kiai Aqil Siradj. Pandangannya mengenai apa saja benar-benar sangat terbuka dan luas. Dia selalu mempunyai dalil yang kuat untuk segala hal yang menyangkut hidup orang banyak. Setidaknya dia sangat berbeda dengan seorang mahasiswa doktor lainnya yang juga bergabung dengan tim kami.
Kalau yang satu tadi melarang kami menghidupkan TV yang disiarkan dari Libanon atau Qatar atau Mesir, Ustaz Aqil tidak begitu. ''Kalau mau nonton, nonton saja,'' katanya setelah mahasiswa yang satunya tadi tidak berada di kantor darurat kami di Makkah.
Kalau Gus Dur merekrut Ustaz Aqil Siradj sebagai kader muda NU yang cemerlang, sungguh tidak salah. Sejak di Makkah itu pun kami sudah melihat bahwa mahasiswa ini akan menjadi seorang yang penting kelak di kemudian hari. Saya pun sudah melihat Ustaz Aqil Siradj saat itu sebagai 'Gus Dur muda'. Pandangannya benar-benar luas. Ilmunya amat banyak dan dalam. Disertasinya mencerminkan begitu banyak dan luas bacaannya: referensi di disertasinya seribu buku!
Yang juga mirip dengan Gus Dur adalah keberpihakannya terhadap golongan minoritas dan selera humornya! Humor-humor Kiai Aqil Siradj sangat kaya dan kelas tinggi. Suatu saat, ketika dia sudah menjadi beliau, saya berjanji bertamu ke rumah beliau di dekat rumah Gus Dur di Ciganjur. Ketika saya tiba di rumah beliau tepat jam dan menitnya, beliau langsung berkelakar mengenai kedisiplinan saya itu: ''Kini, saya tahu Anda ini pasti dari keluarga Masyumi!''
Lho apa hubungan Masyumi dengan kedisiplinan?
Inilah humor itu: Di masyarakat Indonesia ini, katanya, hanya dikenal empat golongan. Mereka yang disiplin tapi sembahyang, itulah Masyumi. Mereka yang tidak disiplin tadi sembahyang itulah NU. Mereka yang disiplin tapi tidak sembahyang, itulah PSI. Mereka yang tidak disiplin dan tidak sembahyang, itulah PNI. Saya langsung tertawa ngakak atas ketajaman humornya itu.
Langsung, saya harus mengakui bahwa sebagian besar keluarga saya memang Masyumi. Tapi, Masyumi yang agak aneh. Ubudiyah (cara beribadah) keluarga saya sangat NU. Padahal, ubudiyah -nya Masyumi biasanya sangat Muhammadiyah. Anehnya lagi, meski ubudiyah kami NU, aliran tarekat keluarga kami adalah Syatariah. Padahal, orang NU umumnya menganut tarekat Nahsyabandiyah. Kini, tentu lebih aneh lagi karena dengan latar belakang yang 'ruwet' seperti ini saya menduduki jabatan dirut PLN!
Saya melihat NU akan sangat 'ramah' di bawah pimpinan Kiai Aqil Siradj. Siapa pun akan merasa terpuaskan berdialog dengan kiai kelahiran Cirebon tahun 1954 ini. Yang orientasinya salafi, akan termuarakan karena beliau memang santri pondok salafi kelas 'bintang sembilan' seperti Krapyak di Yogyakarta dan Lirboyo di Kediri. Yang berorientasi ke Arab, tidak diragukan. Beliau lebih 10 tahun tinggal di Arab Saudi.
Golongan minoritas dalam Islam akan merasa aman karena beliau sendiri sampai pernah dicap sebagai penganut Syi'ah. Dan, golongan non-Islam akan sangat merasa aman karena pandangan Kiai Aqil Siradj yang sama pluralisnya dengan Gus Dur di bidang ini.
(Dirut PLN)
Salah besar komentar pengamat yang mengatakan dengan terpilihnya KH Said Aqil Siradj sebagai ketua umum (tanfidiyah ) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) berarti golongan konservatif yang menang. Kiai Aqil adalah orang yang amat terbuka, moderat, pluralis, bahkan cenderung menggampangkan banyak hal.
Di mata Kiai Aqil Siradj tidak ada barang yang sulit, termasuk dalam beragama. Sampai-sampai muncul guyon di kalangan NU, seperti yang diceletukkan Kiai Ali Mashuri dari Sidoarjo, kalau Anda ingin menanyakan segi halalnya semua hal, bertanyalah ke Aqil Siradj.
Sedangkan kalau menanyakan sudut haramnya semua hal, bertanyalah ke KH Ma'ruf Amin. Dengan terpilihnya Kiai Aqil Siradj boleh dibilang kepemimpinan NU akan lebih cair dan rileks. Akan kembali seperti saat dipimpin Gus Dur dalam skala yang lebih kecil. Seandainya yang terpilih adalah calon satunya, Slamet Effendy Yusuf, wajah kepemimpinan NU akan lebih politis, mirip ketika dipimpin KH Hasyim Muzadi.
Kiai Aqil Siradj sungguh sangat rileks. Bahkan, kini beliau tidak peduli lagi kalau ada orang yang salah memanggil namanya: Agil. Padahal, dulu, beliau selalu mengoreksi kalau ada orang yang memanggilnya Agil. Yang benar adalah Aqil. 'Q' di situ harus diucapkan lebih mendekati huruf 'K' daripada huruf 'G'. Atau tepatnya, harus diucapkan di antara bunyi huruf 'G' dan huruf 'K'.
Bagi yang tidak familiar dengan ucapan huruf Arab, kata 'aqil' memang akan diucapkan salah: Agil atau sekalian Akil. Saya pun yang bertahun-tahun sekolah di madrasah tidak biasa memanggil beliau secara benar. Saya selalu memanggil beliau dengan Agil. Ini gara-gara ada dua orang terkenal yang bernama Agil: KH Said Agil al Munawar (mantan menteri Agama di era presiden Megawati) dan H Agil H Ali (tokoh pers Indonesia).
Maka, ketika pertama kali mengenal beliau di Makkah, saya pun selalu memanggil beliau dengan Agil. Setiap itu pula beliau memberikan koreksi: Aqil! Waktu itu beliau masih mahasiswa program doktor Universitas Ummul Quro di Makkah. Sedangkan saya, bersama-sama tim dari Jawa Pos, sedang menerbitkan koran musiman di Makkah.
Tentu kami sangat beruntung ada mahasiswa sekaliber Said Aqil Siradj bisa bergabung di tim kami. Waktu itu, kami belum memanggil beliau kiai. Kami memanggilnya Ustaz Agil. Saat itulah, selama dua bulan, kami bekerja bersama dalam satu tim siang malam. Dari situ pula, kami berkesimpulan bahwa mahasiswa satu ini sangat istimewa. Encer otaknya dan luas pandangan ilmunya.
Saya kaget ketika ada komentator politik yang mengatakan bahwa dengan terpilihnya KH Said Aqil Siradj sebagai ketua umum Nahdlatul Ulama (PBNU) dalam Muktamar di Makasar pekan lalu, berarti kemenangan kubu konservatif. Saya sama sekali tidak melihat kekonservatifan Kiai Aqil Siradj. Pandangannya mengenai apa saja benar-benar sangat terbuka dan luas. Dia selalu mempunyai dalil yang kuat untuk segala hal yang menyangkut hidup orang banyak. Setidaknya dia sangat berbeda dengan seorang mahasiswa doktor lainnya yang juga bergabung dengan tim kami.
Kalau yang satu tadi melarang kami menghidupkan TV yang disiarkan dari Libanon atau Qatar atau Mesir, Ustaz Aqil tidak begitu. ''Kalau mau nonton, nonton saja,'' katanya setelah mahasiswa yang satunya tadi tidak berada di kantor darurat kami di Makkah.
Kalau Gus Dur merekrut Ustaz Aqil Siradj sebagai kader muda NU yang cemerlang, sungguh tidak salah. Sejak di Makkah itu pun kami sudah melihat bahwa mahasiswa ini akan menjadi seorang yang penting kelak di kemudian hari. Saya pun sudah melihat Ustaz Aqil Siradj saat itu sebagai 'Gus Dur muda'. Pandangannya benar-benar luas. Ilmunya amat banyak dan dalam. Disertasinya mencerminkan begitu banyak dan luas bacaannya: referensi di disertasinya seribu buku!
Yang juga mirip dengan Gus Dur adalah keberpihakannya terhadap golongan minoritas dan selera humornya! Humor-humor Kiai Aqil Siradj sangat kaya dan kelas tinggi. Suatu saat, ketika dia sudah menjadi beliau, saya berjanji bertamu ke rumah beliau di dekat rumah Gus Dur di Ciganjur. Ketika saya tiba di rumah beliau tepat jam dan menitnya, beliau langsung berkelakar mengenai kedisiplinan saya itu: ''Kini, saya tahu Anda ini pasti dari keluarga Masyumi!''
Lho apa hubungan Masyumi dengan kedisiplinan?
Inilah humor itu: Di masyarakat Indonesia ini, katanya, hanya dikenal empat golongan. Mereka yang disiplin tapi sembahyang, itulah Masyumi. Mereka yang tidak disiplin tadi sembahyang itulah NU. Mereka yang disiplin tapi tidak sembahyang, itulah PSI. Mereka yang tidak disiplin dan tidak sembahyang, itulah PNI. Saya langsung tertawa ngakak atas ketajaman humornya itu.
Langsung, saya harus mengakui bahwa sebagian besar keluarga saya memang Masyumi. Tapi, Masyumi yang agak aneh. Ubudiyah (cara beribadah) keluarga saya sangat NU. Padahal, ubudiyah -nya Masyumi biasanya sangat Muhammadiyah. Anehnya lagi, meski ubudiyah kami NU, aliran tarekat keluarga kami adalah Syatariah. Padahal, orang NU umumnya menganut tarekat Nahsyabandiyah. Kini, tentu lebih aneh lagi karena dengan latar belakang yang 'ruwet' seperti ini saya menduduki jabatan dirut PLN!
Saya melihat NU akan sangat 'ramah' di bawah pimpinan Kiai Aqil Siradj. Siapa pun akan merasa terpuaskan berdialog dengan kiai kelahiran Cirebon tahun 1954 ini. Yang orientasinya salafi, akan termuarakan karena beliau memang santri pondok salafi kelas 'bintang sembilan' seperti Krapyak di Yogyakarta dan Lirboyo di Kediri. Yang berorientasi ke Arab, tidak diragukan. Beliau lebih 10 tahun tinggal di Arab Saudi.
Golongan minoritas dalam Islam akan merasa aman karena beliau sendiri sampai pernah dicap sebagai penganut Syi'ah. Dan, golongan non-Islam akan sangat merasa aman karena pandangan Kiai Aqil Siradj yang sama pluralisnya dengan Gus Dur di bidang ini.
Postingan Populer
-
Alternative Content Berikut kata-kata yang digunakan: Aaker ABG ABK ABRI Abitrase AC Aceh Aceton Adhi Adhiono Adiman Adum Adumla Afa...
-
yuwie Seperti social networking site (FS) yang lain, ada fasilitas blog, upload pictures, refer friends, chat, hang out, dl...
-
DIREKTORI PERUSAHAAN DAN PRODUK YANG TELAH MEMPEROLEH SERTIFIKAT PRODUK PENGGUNAAN TANDA SNI BIDANG INDUSTRI 1. Nama Perusahaan : PT. ASIA R...
-
Menerima pesanan besi BETON POLOS, besi BETON ULIR, besi nako, plat strip. Produk sesuai SNI 07-2052-2002. PT A, Surabaya , email:jayas...