Arif Satria
(Dekan Fakultas Ekologi Manusia IPB) Pada 16-17 Juni 2010 ini Seleksi Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SMPTN) akan dilaksanakan. Bagi sejumlah perguruan tinggi negeri (PTN), SMPTN ini hanya salah satu jalur, di samping ada jalur-jalur seleksi lainnya. Jalur-jalur non-SMPTN inilah yang disinyalir merupakan titik awal komersialisasi yang memicu tragedi pembatalan UU Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang lalu.
Beberapa kalangan masih terus mendesak agar perguruan tinggi badan hukum milik negara (PT BHMN) dikembalikan ke status perguruan tinggi negeri (PTN). Alasan utamanya adalah karena PT BHMN dianggap terlalu komersial sehingga akses masyarakat miskin makin terbatas. Sementara itu, PT BHMN ingin mempertahankan status otonominya karena dianggap sebagai jalan tepat untuk meningkatkan mutu pendidikan tinggi. Idealnya kita bisa otonomi tanpa komersialisasi. Tapi, mungkinkah?
Otonomi
Otonomi merupakan prakondisi penting dalam mewujudkan perguruan tinggi (PT) makin bermutu. Berdasarkan pengalaman proses transformasi dari kultur birokrat ke kultur profesional, ada beberapa nilai positif dengan adanya otonomi tersebut. Pertama, dalam pengembangan sumber daya manusia (SDM), PT makin leluasa mengubah budaya kerja pegawai negeri sipil (PNS) dan mampu mengembangkan evaluasi berbasis kinerja. Begitu pula, manajemen SDM bisa dilakukan berbasis pada kebutuhan institusi. Bahkan, dimungkinkan pula adanya status pegawai PT otonom non-PNS. Kedua, otonomi makin memungkinkan berkembangnya tata-kelola PT yang baik (good university governance), melalui adanya institusi Majelis Wali Amanat (MWA) yang merupakan representasi pemangku kepentingan dan pemerintah. Dengan tata kelola baru ini, masyarakat pun punya akses ke dalam berbagai keputusan penting PT. Jadi, keluhan soal komersialisasi PT, sebenarnya bisa dilaporkan ke MWA untuk diproses. Karena kebijakan tarif biaya kuliah ada di tangan rektor yang bisa saja dibatalkan oleh MWA. Memang persoalannya adalah apakah MWA sebagai unsur masyarakat sudah optimal dalam menyerap aspirasi masyarakat atau tidak. Ketiga, PT makin leluasa dalam mengelola aset fisik yang selama ini belum optimal untuk pengembangan kewirausahaan dan usaha komersial untuk membantu kebutuhan pendanaan PT. Keempat, sistem remunerasi lebih kondusif bagi para dosen dan pengelola untuk meningkatkan kinerja PT. Juga, otonomi mengharuskan audit secara profesional terhadap pengelolaan keuangan PT oleh kantor akuntan publik.
Apakah untuk otonomi itu PT harus komersial? Secara eksplisit sebenarnya UU BHP mengatur dan membatasi kebebasan PT dalam menarik dana dari masyarakat. Dana masyarakat yang bersumber dari mahasiswa tidak boleh lebih dari sepertiga penerimaan PT tersebut. Artinya, UU BHP tidak memperkenankan adanya biaya kuliah yang tinggi. Bahkan, UU BHP memberikan perhatian besar kepada masyarakat tidak mampu karena PT berkewajiban untuk menerima calon mahasiswa sekurang-kurangnya 20 persen. Jadi, secara normatif ada spirit bahwa otonomi memang harusnya tanpa komersialisasi, meski norma tersebut lalu hilang dengan batalnya UU BHP. Bagaimana secara empiris?
Di beberapa PT, otonomi tanpa komersialisasi juga sudah terwujud. Di IPB, misalnya, sejak tahun 2004 telah mampu menerapkan subsidi silang. Mahasiswa dari kalangan kurang mampu membayar biaya pendidikan lebih rendah dari mahasiswa kalangan mampu. Bahkan, yang benar-benar tidak mampu, dibebaskan dari komponen biaya tertentu biaya pendidikan. Kondisi ini memberi jaminan akses bagi mahasiswa tidak mampu terhadap pendidikan tinggi. Untuk mahasiswa yang diterima melalui jalur Ujian Seleksi Masuk IPB (USMI) tahun 2007-2009, sekitar 40-50 persen berasal dari keluarga yang penghasilan orangtuanya kurang dari Rp 2,5 juta/bulan.
Dan, sekitar 75-83% kurang dari Rp 5 juta. Hanya sekitar lima persen yang di atas Rp 7,5 juta. Jadi, IPB mengupayakan tambahan dananya dari kerja sama riset, pengelolaan aset, serta komersialisasi produk-produk riset. Ini satu pengalaman bahwa otonomi tanpa komersialisasi adalah realistis.
Payung hukum otonomi
Lalu, bagaimana bentuk otonomi tanpa komersialisasi setelah pembatalan UU BHP? Banyak kalangan mengusulkan agar PT BHMN kembali ke PTN biasa, dengan cara memberikan dana yang lebih besar lagi ke PT, serta mengubah peraturan perundangan tentang keuangan negara yang memberi keleluasaan PT dalam pengelolaan aset dan keuangan. Namun, lagi-lagi ini bukan hal mudah untuk mengubah aturan perundangan.
Kita bicara tidak dalam ruang hampa, tapi dalam ruang dengan sejumlah kepentingan berbagai institusi yang ada dan kadang tidak toleran dengan institusi lainnya. Dengan status PTN biasa, sulit pula mewujudkan otonomi pengembangan SDM karena terikat peraturan kepegawaian yang ketat. Sulit pula mewujudkan tata-kelola PT yang baik seperti saat ini karena terikat aturan perundangan aparatur negara. Apalagi, dengan fakta bahwa PTN biasa pun ada yang memberlakukan tarif kuliah super mahal, status PTN biasa tak menjamin hilangnya komersialisasi. Jadi, kembali ke PTN bukan jalan yang realistis.
Karena, tak selamanya PT BHMN itu komersial dan tak selamanya pula PTN biasa itu tidak komersial. Karena itu, dalam rangka mewujudkan otonomi tanpa komersialisasi, kita perlu menggagas RUU Otonomi Perguruan Tinggi sebagai payung hukumnya. RUU ini penting mengatur bentuk serta memberikan arah dan rambu-rambu bagaimana otonomi PT dijalankan. Sehingga, dapat membawa PT-meminjam istilah Herry Suhardiyanto (rektor IPB)-menjadi lebih "Pro-Rakyat dan Pro-Mutu".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar