Amanat Jabatan
Oleh A Ilyas Ismail
Secara tradisional amanat hanya dipahami sebagai menunggu barang-barang titipan (wada'i), lalu menyampaikan dan meneruskan kepada pemilik atau orang yang berhak menerimanya. Diakui, pengertian ini memang tidak salah. Namun, secara modern, amanah memiliki cakupan makna yang lebih luas, terutama berkaitan dengan tugas dan tanggung jawab seseorang yang memangku jabatan publik.
Dalam buku Khuluq al-Muslim, Muhammad Ghazali mengemukakan tiga makna penting dari amanah. Pertama, amanah berarti menempatkan segala sesuatu pada tempatnya yang tepat dan layak (wadh' kull-i al-syai-i fi al-makan al-jadir lah). Dalam arti ini, orang yang amanah tak akan pernah memberikan tugas dan jabatan, kecuali kepada orang yang mampu dan cakap. Itu sebabnya, Rasulullah menolak permintaan sahabatnya, Abu Dzarr, ketika meminta kepada Nabi agar diangkat sebagai pejabat. (HR Muslim).
Kemampuan intelektual (al-kifayah al-'ilmiyyah) dan kecakapan praktikal (al-kifayah al-'amaliyyah), kata Muhammad Ghazali, tak selalu berkorelasi positif dengan kesalihan individual. Maka boleh jadi, orang baik, bahkan sangat baik, semacam Abu Dzar, tetapi ia tak otomatis memiliki keahlian (competence) dan keterampilan praktikal (managerial skill), yang dipersyaratkan untuk dapat memangku dan melaksanakan suatu jabatan dengan baik dan sempurna.
Kedua, amanah berarti bekerja dan melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya. Dalam hal ini, seorang pejabat publik mesti berusaha sebaik mungkin dalam melaksanakan tugas dan memenuhi kepentingan orang banyak. Kelalaian dan kealpaan sedikit pun dalam soal ini, dipandang sebagai pengkhianatan (khiyanat) dan penipuan (ghudzrah), karena akan menimbulkan dampak buruk bagi agama, bangsa, dan negara.
Ketiga, amanah berarti seorang pejabat tidak mempergunakan jabatannya untuk memperkaya diri atau untuk mengeruk kekayaan sebanyak-banyaknya, baik untuk diri, keluarga, maupun kolega-koleganya. Padahal, penting diketahui bahwa pendapatan (pungutan) apa pun yang dilakukan oleh seorang pejabat di luar gaji formalnya, hal itu tergolong ghulul, penipuan alias korupsi. (HR Abu Daud).
Jadi, amanat jabatan bukanlah barang sepele atau remeh-temeh. Dalam Islam, amanat merupakan perkara yang amat besar sampai-sampai makhluk Allah yang besar-besar, seperti langit, bumi, dan gunung tak sanggup memikulnya. Manusia mampu memikulnya dengan dua syarat, yaitu tak bersifat zalim dan bodoh. (QS Al-Ahzab [33]: 72).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar