Amanah Publik
Oleh Abdullah Hakam Shah
Amanah publik bukan arena untuk orang sembarangan. Sebab, amanah ini akan menggiring setiap orang yang mengembannya kepada dua pilihan yang terjal: kehinaan atau kemuliaan, 'racun' atau 'madu', neraka atau surga.
Demikian beratnya konsekuensi dari amanah ini, Allah SWT memberikan metafor bahwa langit, bumi, dan gunung-gunung tak akan mampu memikulnya. ''Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanah itu. Mereka khawatir akan mengkhianatinya. Dan, dipikullah amanah itu oleh manusia.'' (QS al-Ahzab [33]: 72).
Oleh karena itu, ketika Rafi' bin Umar meminta nasihat kepada Abu Bakar RA, sahabat utama Rasulullah SAW tersebut berpesan singkat, ''Jangan pernah mau jadi pemimpin.''
Rafi' menyela, ''Anda menasihati saya agar menjauhi kepemimpinan, tapi Anda sendiri menjadi khalifah.''
''Ya, dan saya kukuh pada nasihat tadi. Karena siapa pun yang menjadi pemimpin, lalu tidak berlaku adil, laknat Allah akan merundungnya,'' jawab Abu Bakar RA.
Tetapi, bagi pejabat publik yang adil, pahalanya amatlah agung. Ia akan menjadi salah satu dari tiga golongan yang kelak pertama kali masuk surga (HR Muslim). Dan, ia akan dinaungi pertolongan Allah SWT pada saat kebanyakan manusia tak memperoleh 'uluran tangan'-Nya (HR Tirmidzi).
Imam al-Ghazali, dalam Ihya' Ulumuddin mencoba menawarkan batasan kualifikasi, ''Orang-orang tertentu yang kuat agamanya sebaiknya tidak menolak amanah publik. Sementara mereka yang lemah, jangan pernah menyodorkan diri untuk mengembannya.''
Agar bisa mengemban amanah publik dengan baik, di antara tradisi terpenting yang harus dibangun: seorang pejabat perlu menjaga jarak dengan kemewahan dunia. ''Yaitu, dengan mengambil lebih sedikit dari haknya,'' jelas al-Hujwiri, ''Dan, memberikan kepada rakyat lebih banyak dari hak mereka.''
Sejarah selalu mencatat dengan tinta emas para pejabat publik, yang mengedepankan hak rakyat daripada hak pribadinya. Misalnya, Umar bin Khaththab RA yang lebih suka mengenakan baju penuh tambalan, ketimbang membeli baju kebesaran khalifah dari uang baitul mal.
Demikian pula, dengan Umar bin Abdul Azis, yang di puncak kepemimpinannya hanya memiliki sehelai jubah lusuh yang melekat di badan. Padahal, saat itu, seluruh rakyatnya berhasil mencapai taraf kesejahteraan yang memadai. Sampai-sampai, semuanya tergolong sebagai muzakki (orang yang wajib mengeluarkan zakat) dan tak seorang pun pantas disebut mustahik (orang yang boleh menerima zakat).
Pejabat publik semacam merekalah yang digambarkan Rasulullah SAW sebagai hamba yang paling dicintai Allah SWT. Mereka mulia di dunia, dikenang sepanjang masa. Dan kelak, di surga, mereka akan menikmati tempat yang paling dekat dengan-Nya (HR Tirmidzi).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar