: Belajar dari Belanda

Oleh Ina Mirawati (Pegawai Arsip Nasional RI)

Air adalah unsur kehidupan utama bagi umat manusia. Tapi, air juga dapat menjadi musuh yang dahsyat bila tidak ditata dengan baik. (AR Soehoed, Banjir Ibukota , 2002:18)

Pengendalian banjir di Jakarta harus menjadi salah satu peristiwa nasional yang didukung oleh semua instansi yang berkepentingan, harus juga mendapat dukungan politik yang jauh di luar kepentingan partai. Karena, dampak banjir akan terbawa ke seluruh masyarakat, menyebabkan jalan raya dan jalan kereta api rusak, penerbangan menjadi lumpuh, komunikasi dan berbagai sarana lain akan putus, serta pendidikan dan produktivitas terganggu.

Di dalam sejarah dunia banyak contoh dapat digunakan sebagai acuan di mana banjir yang tidak terkendali akhirnya melahirkan tanah tandus. Banjir yang terjadi di Jakarta selama tiga hari saja, sangat membawa dampak signifikan bagi pasar-pasar megah/swalayan yang mengalami kekosongan sayur-mayur, telur, buah-buahan, dan rempah-rempah.

Musibah banjir di Jakarta pada 27 Januari 2002 dan banjir 5 tahunan yang diperkirakan selalu hadir, membuat kita menengok sejenak ke masa pemerintahan Belanda dalam mengatasi banjir, khususnya di Jakarta. Sesuai dengan namanya, 'Nederland', Belanda adalah negara yang wilayahnya terletak di bawah permukaan air laut. Jadi, tidaklah mengherankan ketika orang-orang Belanda datang ke Indonesia dan akhirnya menetapkan Batavia sebagai ibu kotanya, mereka sudah mempelajari dan mengantisipasi jika musim hujan tiba dan jika Batavia terendam banjir. Maka, ketika membangun Batavia pada 1619,  mindset Jan Pieterzoon Coen terinspirasi pada negaranya.

Mindset itu adalah menghancurkan permukiman kaum pribumi dan menjadikan Batavia sebagai jiplakan kampung halaman di Belanda waktu itu, lengkap dengan kanal, jembatan tarik, rumah kanal, kanopi susun, sebuah gereja, lonceng gereja, dan jalanan yang dikeraskan dengan batu-batu bulat. (Peter JM Nas dan Kees Grijns, Jakarta-Batavia, 2007: 5).

Wilayah Kota Batavia didirikan di tebing timur bagian Muara Ciliwung, Kali Besar, dan membagi-baginya dengan terusan-terusan dengan maksud menyediakan alur-alur pelayaran, alur pembuangan air, dan juga sarana dalam rangka pertahanan daerah kota. Pada 1634, Muara Ciliwung diperpanjang alur muaranya dengan tanggul-tanggul laut sampai mencapai lokasi terumbu karang di lepas pantai. Pada pertengahan abad ke-17, jaringan terusan-terusan diperluas lagi sampai mencapai sungai-sungai di luar Kota Batavia untuk dapat memberikan pengairan sawah-sawah dan kebun tebu di luar kota. Dan, juga untuk menyalurkan air dari luar ke dalam kota karena Kali Besar pada musim kemarau sudah kekurangan air.

Van Breen planing
AR Soehoed dalam bukunya,  Banjir Ibukota (2002:25), mengutip tulisan Prof Ir H Van Breen berjudul  Verbetering van de Waterstaat van de hoofdplaats Batavia , menerangkan bahwa Van Breen menyusun rencana untuk perbaikan tata air ibu kota Batavia. Inti rencananya, mengendalikan tata air Kota Batavia, khususnya dari bagian yang terbangun dengan sungai dan tersusun dalam jumlah yang sekecil mungkin, dan arah utama dari selatan ke utara. Terusan banjir dimaksud untuk menahan semua banjir dari arah selatan dan mengelakkannya ke barat. Dengan hanya beberapa sungai dan terusan dari selatan ke utara, pengendalian banjir akan lebih mudah, pengendapan terbatas, dan kemungkinan penggelontoran masih dimungkinkan.

Pada dasarnya, Van Breen condong pada pembatasan jumlah saluran-saluran air di wilayah kota pada beberapa saluran dan sungai saja, yaitu Ciliwung hingga Pintu Air Nusantara terus ke Gunung Sahari, lalu saluran utama dari Pintu Air Karet melalui daerah Menteng terus ke Muara Baru (sekarang Waduk Pluit). Kali Krukut berperan sebagai saluran penggelontoran. 

Pembuatan saluran tidak boleh terlalu diperdalam dan selalu digelontor pada waktu-waktu tertentu. Dengan saluran-saluran yang berkapasitas besar, Van Breen mengharapkan akan terwujud suatu sistem dengan daya tampung besar yang pada musim kemarau masih cukup mempunyai air, baik untuk pelayaran sungai maupun untuk penggelontoran. Daerah yang dilingkupi oleh sungai-sungai ini kemudian akan dikeringkan dengan sistem pemompaan.

Pokok pikiran Van Breen adalah berupaya untuk mengeringkan daerah-daerah rendah melalui kelompok-kelompok petak secara gravitasi dan meninggikan daerah-daerah ini. Setelah itu, melintasi daerah-daerah tersebut dengan suatu sistem saluran-saluran pengumpulan air yang semuanya berarah ke saluran-saluran besar.

Banjir dalam Khazanah Arsip
Data-data/informasi mengenai masalah banjir tertuang sangat lengkap dalam laporan, surat keputusan, maupun surat menyurat dan dapat dibaca dalam khazanah arsip yang ada di Arsip Nasional RI (ANRI). Sebagai contoh adalah arsip dari Algemeene Secretarie mengupas masalah usaha penanganan banjir di Hindia Belanda. Sebuah surat yang dikirim oleh bagian Pengairan dari Departement Verkeer en Waterstaat melaporkan, sungai-sungai di bagian hulunya berbentuk datar yang rendah akibat banjir dan untuk mempelajari hal-hal berkaitan dengan aliran air, maka ada sebuah laboratorium modern di Bandung.

Surat Departement der Burgerlijke Openbare Werken (Departemen Pekerjaan Umum) mengusulkan perbaikan saluran air di ibu kota Batavia dengan melakukan pengeringan di bagian barat daya kotapraja Batavia. Dalam surat ini, dijelaskan rencana Ir Van Breen dan Dr De Vogel dalam menangani masalah banjir di Batavia, antara lain daerah Pekojan, Penjaringan, Tanjung Priok. Dijelaskan juga bahwa banjir yang dialami Batavia terjadi karena adanya pembukaan perkebunan teh di sebelah selatan Bogor. Hutan kawasan Puncak ditebang. 

Kayu-kayu hutan dikirim ke kota untuk gedung, gudang, dan galangan kapal. Sebetulnya, pada masa pemerintahan HW Daendels pada 1807 telah dikeluarkan ketentuan tentang pembatasan eksploitasi hutan. Untuk memperbaiki susunan perkampungan menjadi lebih sistematis, pada 1919 Gubernur Jenderal mengeluarkan Besluit (Surat Keputusan). Dengan  besluit itulah dirumuskan berapa dana yang diperlukan, siapa yang akan mengerjakan, dan bagaimana pelaksanaannya.

Ada perbedaan antara zaman kolonial dengan sekarang. Dulu Belanda mengubah hutan menjadi kebun teh, sedangkan orang kaya sekarang mengubah kebun teh menjadi bangunan. Semoga dengan belajar dari Belanda, penanggulangan masalah banjir di Jakarta dapat teratasi, apalagi dengan adanya pembangunan Banjir Kanal Timur. Semoga!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar


Postingan Populer