: Perlunya Audit Kekayaan

Oleh: Baharuddin Aritonang 
(anggota BPK 2004-2009)

Kisruhnya para perwira di kepolisian sempat memunculkan ide perlunya mengaudit kekayaan pejabat Polri. Sesungguhnya, yang perlu diaudit bukan hanya kekayaan pejabat Polri, tetapi juga semua pejabat di negeri ini. Bahkan, mungkin termasuk semua pegawai negeri atau mereka yang ikut dalam penyelenggaraan negara lainnya. 

Karena, dalam kenyataannya, bukan hanya pejabat (yang memegang jabatan) yang rentan terhadap perilaku tidak terhormat atas kepemilikan harta kekayaan. Bisa jadi juga mereka yang belum tingkat pejabat. Artinya, yang belum menduduki jabatan struktural, setidaknya eselon III. 

Minggu-minggu ini, salah satu topik yang diperdebatkan adalah kasus Gayus yang pegawai golongan IIIA, tetapi memiliki harta dan simpanan yang terasa tidak sebanding dengan gajinya.  Bukankah hal itu perlu diteliti, khususnya oleh instansinya?

Seluruh pejabat di lingkungan pegawai negeri perlu dilakukan pemeriksaan (audit) atas harta kekayaannya. Dasar untuk melakukan tugas ini sesungguhnya sudah kita miliki, setidaknya ketika kita memasuki masa reformasi, mulai dari TAP MPR XI/MPR/1998 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari KKN. TAP MPR itulah kemudian yang dijabarkan dalam undang-undang, khususnya sebagai langkah pelaksanaannya. Penyusunan dalam undang-undang ini terasa amat penting, mengingat TAP MPR tidak lagi dijadikan sebagai dasar hukum. 

Untuk melaksanakan isi TAP MPR tersebut, dibuat UU No 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme. Melalui Peraturan Pemerintah No 65 Tahun 1999, dibentuk Komisi Pengawas Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN). Kemudian, sebagai pengganti Undang-Undang No 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Korupsi, dilahirkan pula UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 

Di UU No 31 Tahun 1999 ini, sesungguhnya telah ditegaskan lahirnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Setelah Undang-Undang No 31 Tahun 1999 diubah dengan UU No 20 Tahun 2001, diundangkan pula UU No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengukuhkan kehadiran lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dengan lahirnya Komisi Pemberantasan Korupsi, tugas-tugas pelaporan harta kekayaan penyelenggara negara oleh KPKPN diteruskan oleh KPK (sesuai Pasal 13 huruf a UU No 30 Tahun 2002). 

Aturan itulah yang membuat setiap penyelenggara negara wajib menyampaikan laporan harta kekayaannya ke KPK. Semula, penyelenggara negara yang dimaksud adalah para pejabat yang menduduki jabatan-jabatan di lembaga negara, yakni lembaga-lembaga yang fungsi dan kewenangannya diatur langsung oleh UUD 45, yakni presiden/wakil presiden (termasuk menteri dan pejabat lain setingkat menteri), pimpinan dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat, pimpinan dan anggota Dewan Perwakilan Daerah, hakim agung pada Mahkamah Agung, hakim konstitusi pada Mahkamah Konstitusi, pimpinan dan anggota Komisi Yudisial, serta pimpinan dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan. Saya tidak memasukkan MPR karena anggota MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD. Berdasar UU No 28 Tahun 1999, gubernur dan hakim pun termasuk. 

Namun, pejabat-pejabat (tinggi) negara ini kemudian dilengkapi dengan pejabat di masing-masing lembaga. Yang lebih luas, sesungguhnya berada di lingkup pemerintahan. Karena, dalam kenyataannya, di kementerian dan lembaga pemerintah nondepartemen (LPND) pun dilengkapi dengan pejabat eselon I dan eselon II. (Sama halnya di sekretariat lembaga negara lainnya). Bahkan, bukan hanya para pejabat pemerintah di tingkat pusat, tetapi juga di daerah, yakni gubernur dan bupati/wali kota, serta para pimpinan DPRD. Bahkan, para pejabat di lingkungan BUMN dan BUMD.

Langkah itu sesungguhnya perlu dikembangkan terhadap seluruh pejabat di bawahnya ataupun para karyawan lainnya, yakni mereka yang menduduki jabatan (eselon III dan eselon IV) ataupun pegawai negeri biasa. Akan tetapi, jika para pejabat negara plus di atas dilaporkan ke KPK, pejabat lainnya serta PNS biasa cukup dilakukan oleh masing-masing institusi atau instansi. Tugas-tugas seperti ini tentu dapat dibebankan kepada pengawas internal masing-masing instansi. Bukankah di setiap instansi terdapat pengawas internal? 

Jika di daerah terdapat Bawasda atau Inspektorat Daerah (baik di provinsi, kabupaten, dan kota), di kementerian dan LPND terdapat Inspektorat Jenderal atau Deputi Pengawasan, di BUMN dan BUMD terdapat Satuan Pengawas Internal (SPI), dan seterusnya. Tatkala sekarang mencuat kasus Gayus, pegawai Direktorat Jenderal Pajak; menteri keuangan perlu menugaskan dirjen pajak dan itjen Depkeu untuk meneliti dan memeriksanya. Demikian juga untuk masing-masing instansi atau institusi. 

Langkah untuk melaporkan harta kekayaan, baik pejabat maupun karyawan lainnya, sesungguhnya akan sejalan dengan langkah reformasi birokrasi. Bagaimanapun, perbaikan penerimaan karyawaan tidak akan berpengaruh tanpa adanya perbaikan di pihak lain, seperti pengawasan. Sebagaimana kita tahu, remunerasi itu diberikan sejalan dengan penyusunan KPI (Key Performance Indicators) setiap karyawan atau pegawai. 

Apa tugas-tugas pokok karyawan yang bersangkutan? Sampai di mana penyelesaian tugas pokoknya, langkah-langkah kinerja yang ditunjukkan, dan sebagainya adalah dasar pemberian remunerasi. Karena pengawasan tentang tugas-tugasnya berjalan, dengan sendirinya pengawasan terhadap penerimaannya (termasuk harta kekayaannya) harus dilakukan. 

Dengan langkah semacam ini, dengan mudah dapat dilakukan pemeriksaan atau audit atas harta kekayaannya. Berapa harta awal, berapa gaji, berapa pengeluaran, berapasaving? Maka, hasil akhir setiap bulan akan diketahui, selanjutnya dapat dihitung harta kekayaan yang terakhir.

1 komentar:


Postingan Populer